5 Mar 2013

Catatan Masa Depan Media dan Kinerja Insan Media di Tengah Konvergensi


Pendahuluan

Dalam dunia masa kini, media menjadi urutan terdepan bagi kelangsungan hidup manusia dalam menerima dan mengembangkan informasi yang beredar. Seperti umumnya yang sering kita jumpai pada masyarakat luas yang mengkonsumsi informasi berupa iklan dan televisi. Kedua media ini bagaikan jiwa dan raga yang tidak bisa dipisahkan, dan bila terpisahkan, akan ada ‘kematian’. Faktanya, jika televisi (swasta) tanpa iklan pasti-lah akan mati, dan sebaliknya iklan tanpa televisi seolah tak berdaya. Tidak juga kita melulu melihat dari media iklan dan televisi saja, dampak era globalisasi yang semakin booming setelah era orba berlalu menjadi titik acuan perkembangan regulasi media saat ini.

Meskipun penguatan peran dan aktivitas media setelah “lengsernya” Soeharto masih mempunyai dampak negatif, tapi telah terjadi perubahan iklim yang sempat “dirayakan” oleh para pelaku industri media di Indonesia[1]. Euphoria ini bertahan hingga sekarang, persaingan yang dibentuk oleh setiap korporat insan pertelevisian maupun insan media massa lainnya mengalami titik nadir keterbukaan informasi di Indonesia sendiri. Perubahan sosial politik yang meliputi keterbukaan, penonjolan tiga isu global (demokratisasi, hak asasi manusia, dan kelestarian lingkungan hidup) termasuk juga kebebasan pers sebagai bagian integral sistem komunikasi sosial masyarakat. Dampak buruk dari globalisasi media dapat kita lihat dari masyarakat yang semakin konsumeristik, apatis dan individualistik.

Kondisi dunia tanpa batas ini mengakibatkan apa yang sering disebut dengan penyeragaman secara global dalam sistem, pola dan budaya komunikasi dunia, hal ini disebut dengan istilah borderless world[2]. Lebih spesifik lagi jikalau kita melihat bagaimana Metro TV merujuk pada media besar CNN pada saat liputan untuk peristiwa WTC 11/09/2001, atau Indosiar yang bertumpuan juga dengan VOA TV, dan beberapa radio FM Jakarta yang mempunyai jaringan lokal daerah dengan merujuk radio BBC London-Voice of Amerika untuk El Shinta FM 90,05 atau Deutsche Welle untuk Jakarta News FM, dan sebagainya.

Mari kita menengok kembali Negara kita jika dihubungkan dengan dampak globalisasi, perputaran dan tingkat regulasi sejatinya tertitik beratkan pada system penyiaran dan system Negara ini. Mulai dari pembentukkan undang-undang, filter yang digunakan untuk menyaring segala bentuk penyiaran maupun informasi dari luar, hingga tingkat melek media masyarakatnya. Regulasi penyiaran yang lahir di tengah iklim reformasi tersebut, menjadi relevan bagi setiap orang untuk kembali merenung tentang sejauh mana semangat demokratisasi yang dibawa regulasi tersebut telah diimplementasikan.

Sejatinya, penyusunan UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran dijiwai oleh semangat demokratisasi dan desentralisasi[3]. Roh demokratisasi menghendaki pengelolaan penyiaran dikembalikan sebesar-besarnya bagi kemanfaatan masyarakat. Dengan begitu kekuatan masyarakat tentang penyiaran dapat ditegakkan. Kekuasaan rakyat yang termaksud dalam UU dipersonifikasikan dalam wadah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independent Regulatory Body, yakni badan independen yang berwenang penuh mengatur segala persoalan dunia penyiaran. Dengan adanya badan independen ini pengkontrolan dan penyelarasan penyiaran yang berfungsi sebagai edukasi, hiburan, dan informasi dapat lebih terakomodir. Tidak terlepas juga kita dalam menyikapi system tentang proximity (kedekatan), sehingga tidak ada lagi semisal; pemirsa di Papua yang bahkan belum pernah menjejakkan kaki di ibu kota yang dijejali berita kemacetan Jakarta.

Pasca reformasi yang menjunjung tinggi system demokrasi tentunya tidak hanya sekedar cita-cita belaka. Jika kita masih sepakat untuk menempatkan demokratisasi sebagai agenda inti (core agenda) kehidupan bangsa ke depan, dan jika demokrasi mengharuskan hadirnya suatu tatanan social yang memungkinkan setiap warga memiliki akses yang sama untuk melibatkan diri dalam setiap diskursus yang berkembang, maka demokratisasi penyiaran merupakan satu dari sekian anak tangga yang harus dilewati. Tanpa kemauan (political will) bersama, demokratisasi penyiaran menjadi mustahil.

Perkembangan yang ditunjukkan dari Indonesia tentang regulasi media juga tidak terpaku pada pasang surut media penyiarannya, terbukti dalam penyeragaman pemikiran yang dibentuk dalam berbangsa dan ber-Tanah air juga termaksud dalam regulasi dari media cetak tersendiri. Perbedaan yang tidak begitu jauh ditampilkan oleh media cetak, jika media penyiaran menyajikan tuntutan nilai-nilai moral bangsa secara lengkap mulai dari; audio-visual, teks, hingga pesan yang dimaknakan, maka media cetak justru lebih memilih jalan kearah yang lebih konvesional. Penyajian nilai-nilai moral melalui visual, teks, dan pesan teks menjadikan masyarakat lebih dituntun untuk terus melengkapi indrawi penglihatan dan imajinya.

Media cetak yang lebih dominan terakusisi oleh surat kabar, dan majalah menjadi ciri khas yang sudah menjadi pakem. Dari mana kita harus memulai menyikapi regulasi media cetak saat ini, sepertinya tidak perlu melihat jauh-jauh dari negri barat maupun timur. Surat kabar yang sejatinya dibawahi oleh keilmuan pers sudah diatur oleh dewan pers, mulai dari Kode Etik Pers, UU Pers No.40 tahun 1999, hingga Peraturan-Peraturan Pers menjadi pengawal untuk regulasi media cetak tersendiri.

Jikalau kita meninjau prespektif tentang system yang digunakan oleh media cetak Indonesia nampaknya menjadi sangat kompleks. Pembagian system pers yang terbagi menjadi berbagai macam bentuk, seperti; system pers Authoritarian, system pers Libertarian, system pers Tanggung Jawab Social, hingga system pers Demokrasi Pancasila. Setiap perusahaan media cetak tentunya memiliki system pers yang dianutnya. Kita sepatutnya juga tidak gegabah dalam mengklasifikasikan system ini, tanpa presepsi bahwa media cetak A dan B seringkali membuat persaingan, bukan menjadi persoalan mendalam, karena begitu adanya persaingan disitulah cengkraman regulasi yang terus berkembang, seiring menjawab semua tantangan masa depan media cetak itu. Bilamana persaingan itu terjadi secara terus menerus, masyarakat akan terus memilah media mana yang berkualitas, sehingga kinerja yang dimunculkan dari awak atau para insan media lebih terlihat secara terbuka.

I

Perkembangan yang begitu cepat dari teknologi komunikasi dan informasi telah membawa angin besar dan mengisi keberagamannya informasi yang semakin meletup ke ruang public (public sphere). Meningkatnya kuantitas pesan yang diperoleh khalayak melalui pelbagai saluran media membawa optimisme publik terhadap perkembangan peningkatan isi media tersebut. Beragam prespektif sebenarnya sudah banyak timbul seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi merebak, kemudian muncul pertanyaan apakah optimisme yang terpancar masih perlu dilihat sebagai sebuah realitas atau justru akan menjadi utopia semata, atau bahkan manajemen media telah terjerumus ke dalam ranah market driven journalism?

Konglomerasi yang sudah lama merebak di Indonesia menjadi isu bersama tentang tantangan media saat ini, sebelum peristiwa reformasi, penguasaan atas media-media besar yang ikut ambil dalam pembentukkan Negara sudah mengalami hegemoni yang luar biasa. Perluasan atas konsentrasi dan konglomerasi media ini juga paralel dengan konvergensi media. Di satu sisi tumbuh media dalam berbagai lini yang berbeda, namun di sisi yang lain kepemilikan dari media semakin memusat pada segelintir orang saja.

Eoin Devereux menuliskan kritiknya atas konglomerasi media. Pertama,secara progresif terjadi konsentrasi kepemilikan media massa oleh segelintir transnational multimedia conglomerates. Kedua, faktanya banyak dari konglomerat ini yang memiliki, mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam perusahaan media dan non media. Ketiga, berlanjutnya perdebatan tentang peran ruang publik media yang muncul dari konsentrasi dan konglomerasi yang lebih besar. Peran ruang publik ini menjadi penting karena konsentrasi dan konglomerasi media menyebabkan penguasaan informasi di tangan segelintiran orang. Keempat, konsekuensi dari berita, current affairs dan jurnalisme investigasi kearah hiburan, populisme dan ‘infotainment’. Corak produksi dalam manajemen media yang mengabdi kepada kepentingan pemodal akan menjadikan pemberhalaan, sehingga selera pasar yang kemudian diikuti.

Kelima, redefinisi audiens sebagai konsumen bukan lagi warga (citizen). Ini terjadi dikarenakan proses industrialisasi budaya berjalan secara massif. Keenam, akses yang tidak setara terhadap isi media dan teknologi media. Ketujuh, kekuatan ekonomi politik dari individu yang menguasai kekaisaran media (Devereux, 2003:54).

Melihat atas kritik yang dilontarkan oleh Devereux, timbul sebuah dugaan bahwa corak menajemen media di Indonesia saat ini sudah membentuk kearah itu. Meneropong lebih dalam tentang hubungan manajemen media dan regulasi media, tentunya dapat kita kaitkan melalui arah pembentukkan media itu dengan sistem pemerintahan saat ini, baik dari peraturan-peraturan, Undang-undang, serta kode etik yang berlaku. Badan independen yang mengatur dan mengontrol setiap perusahaan media juga tidak terlepas bagian dari perputaran persaingan media itu. Berbeda dengan di masa Orde lama, dimana kepentingan manajemen media lebih diarahkan pada kepentingan ideologis partai politik, seperti Bintang Timur yang menjadi corong partai komunis Indonesia, Indonesia Raya yang menjadi kepanjangan tangan partai sosialis Indonesia, Duta masyarakat yang menjadi representasi partai Nahdhatul Ulama, Abadi yang menjadi suara partai masyumi, kepemilikan media massa di orde baru mulai bergeser kearah kepentingan individu dan kepentingan yang berkuasa di masa itu. Kondisi pro pasar yang semakin berkembang saat ini menuai hasil manajemen media yang harus saling bertarung memperebutkan pangsa pasar yang berkembang pelan, padahal di sisi lain pertumbuhan media baik secara vertikal maupun horizontal berkembang secara pesat (Junaedi, 2010:183).

Manajemen media tentu tidak lepas dari pemilik media yang bersangkutan. Berdasarkan kepemilikannya, media dapat terbagi menjadi tiga bagian besar; not-for-profit, public/state owned organizations, dan privately owned media organization. Ketiga bagian besar ini, pemakai yang lebih sering kita jumpai sekarang adalah kepemilikan yang ke tiga (privately owned media organization), model kepemilikan ini dimiliki oleh swasta, dikontrol oleh individu, keluarga, pemegang saham maupun holding company. Media dengan model manajemen yang terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu tidak selalu mencerminkan pendominasian yang berlebihan, nyatanya mereka masih mampu menjalankan fungsinya untuk menginformasikan, mendidik, menghibur, bahakan menjadi agen perubahan social. Memang jika menurut pemikiran neo-marxisme, kepemilikan ini telak mendominasi, sehingga kerap media pun tidak lepas dari si pemilik media itu. Namun, hal itu dibantah oleh para penganut teori strukturasi yang mendudukan pekerja media dalam manajemen media sebagai pihak yang memiliki daya tawar terhadap manajemen dan pemilik media.

II

Bagaimana media dapat mempengaruhi masyarakat secara luas dapat kita bandingkan dengan bagaimana media itu berkerja. Media yang sering dikatakan sebagai kekuatan penuh dalam membentuk suatu perubahan itu juga dapat dibalikan dengan masyarakat yang mempunyai kuasa penuh dalam membentuk opini publik yang berkembang. Dari McQuail (2000) mengemukakan:
"Only by knowing how the media themselves operate can we understand how society influences the media and vice versa.”
(Hanya dengan mengetahui bagaimana media bekerja maka kita dapat memahami bagaimana masayarakat mempengaruhi media atau sebaliknya).

Media massa yang pada masa lalu cendrung disalahkan, karena efek yang ditimbulkannya atau objektifitas beritanya yang diragukan, maka dewasa ini muncul pengertian lebih baik terhadap media massa. Secara bertahapan perhatian media oleh masyarakat saat ini mengalami lonjakan yang begitu signifikan. Meninjau tentang isi media saat ini menjadi begitu beragam. Kekuatan ini dapat dilihat dari faktor-faktor seperti proses globalisasi, konglomerasi, fragmentasi media serta munculnya teknologi baru dalam distribusi isi media seperti televisi kabel, satelit dan jaringan telekomunikasi.

Beberapa faktor tersebut menggambarkan secara singkat bahwa kinerja media saat ini bukan hanya sebagai agen perubahan, melainkan sebagai power distributor, moral guardian, dan leadership tester. Media yang menggambarkan posisinya sebagai elemen ke-empat dari trias politica. Kinerja media yang menjadi alat kontrol bagi pemerintah, masyarakat dan kehidupan berbangsa. Seperti yang sudah dikatakan pada sub bab sebelumnya, kepemilikan tidak bisa lepas juga dari kepentingan individu perusahaan media tersebut. Pekerja media yang diartikan selama ini sebagai power dalam media itu nampaknya telah tergerus arus konglomerasi media.

Gerbner (1969) menggambarkan komunikator massa bekerja dibawah tekanan yang berasal dari berbagai ‘peran kekuatan’ (power roles) termasuk klien (pemasang iklan), pesaing (dari media lain), pihak berwenang khususnya terkait dengan hukum dan politik, para ahli, lembaga lainnya dan audiens. Gerbner menyatakan bahwa:
“while analytically distinct, obvisiously neither power roles not types of leverage are in reality separate or isolated. On the contrary, they often combine, overlap and telescope… the accumulation of power dominant positions in the mass communication of their societies”.
(walau secara analisis berbeda, namun jelas peran kekuasaan dan jenis pengaruh dalam realitasnya tidak terpisah atau terisolir. Sebaliknya, mereka sering kali bergabung, tumpang tindih dan saling menembus… akumulasi peran kekuasaan dan kemungkinan adanya pengaruh menjadikan organisasi media tertentu memiliki posisi dominan dalam komunikasi massa di masyarakat).

Secara garis besar Gerbner telah menampilkan bahwa awak media tidak hanya pekerja dari sebuah media itu saja, melainkan dari jaringan organisasi dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, akankah awak atau para insan media dapat bekerja dibawah tekanan? Gerak media tentunya sudah menjadi dasar utama agenda dari sang pemilik media tersebut, dibantu juga oleh lembaga-lembaga, klien, dan pesaing media dalam membentuk agenda setting itu. Penciptaan agenda setting tidak atas kuasa sang pemilik, adanya gesekan-gesekan opini publik, persaingan media, hingga lembaga terkait.

Di Indonesia, lemahnya manajemen media bisa dirujuk pada lansiran Dewan Pers yang menyebutkan bahwa hanya 30% manajemen media di Indonesia sehat secara bisnis, sedangkan 70% berada dalam konsisi yang sakit alias tidak sehat (Batubara, 2007:4).

Jika kita melihat di lingkungan manajemen media, pekerja media mungkin atau tidak mungkin mereproduksi wacana ideologi dominan dalam teks media yang mereka produksi. Dalam pandangan Michel Foucault, pekerja dalam manajemen media mereproduksi wacana dengan melakukan proses eksklusi maupun inklusi terhadap pengetahuan (knowledge) yang dianggap bersebrangan atau sesuai kuasa (power).
Beragam teks yang dikonsumsi oleh khalayak adalah hasil dari interaksi sejumlah besar pekerja media yang bekerja dalam organisasi spesifik. Misalkan, di halaman depan melibatkan editor, jurnalis, sub-editor, copywriters iklan, fotografer dan percetakan. Inilah relasi anatara pelaku (agency) atau kreativitas pekerja media dan struktur keadaan kerja yang menjadi proses dari perubahan sosial yang merebak di masyarakat luas.

Dewasa ini, pertumbuhan pesat dari profesional media berperan besar dalam menggerakkan roda ekonomi (Cottle, 2003:3). Sayangnya, pertumbuhan secara kuantitas ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Lemahnya sumber daya manusia dan rendahnya gaji bagi professional media menjadi kemirisan yang masih menimpa perkerja media saat ini.

Pertumbuhan media jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi politik dan cultural studies akan mendominasi mengenai bagaimana cara terbaik yang kita lakukan untuk mendekati (approach) dan menjelaskan tentang organisasi media. Tetapi kedua pemikiran besar ini perlu dikembangkan dalam memahami kekuatan ekonomi dan budaya yang melingkupi praktek diskursus dari organisasi media.
Penjelasan instrumental yang menyatakan bahwa operasi dan penampilan media dapat dijelaskan sebagai bentuk campur tangan dari kepentingan yang berkuasa, termasuk di dalamnya adalah kelas yang berkuasa atas manajemen tentunya. Structural determination yang mengambil fokus pada agensi. Pekerja media dalam varian ini dilihat sebagai entitas yang tidak lepas dari derterminasi ekonomi, teknologi dan ideologi. Determinasi inilah yang memproduksi isi dan bentuk media secara tidak sadar dalam keseharian manajemen media berjalan (Cottle, 2003:5).

Karl Marx dalam German Ideology secara eksplisit menyatakan bahwa ide dari kelas berkuasa (ruling class ) akan menjadi ide yang berkuasa (ruling class), sebagai contoh kelas yang memiliki kekuatan material, serempak pula akan memiliki kekuatan intelektual. Kelas yang mempunyai alat-alat produksi serempak juga akan menguasi produksi mental (mental production). Pandangan ini artinya sangat menekankan perubahan yang ada dalam wacana yang berkembang berdasarkan faktor basis yang menyangga bangunan atas atau superstruktur (superstucture). Basis yang dimaksud oleh Marx adalah corak produksi dari suatu masyarakat, sedangkan superstruktur dapat berbentuk ideologi, politik, budaya, dan sebagainya.

Marx menekankan pentingnya filsafat materialisme yang menegaskan bahwa keadaan sosial-lah yang menentukan kesadaran seseorang, dan bukan sebaliknya kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial seseorang (Marx dan Engel, 1994:196).

Di dalam konteks manajemen media, teori ini menekankan bahwa pekerja media secara absolute dilihat sebagai bagian dari pemilik media, dan sekaligus hanya merupakan kepanjangan tangan pemilik media. Karena bagaimanapun juga struktur dan kondisi media yang menentukan kesadaran para pekerja media dalam beratikulasi di berbagai kerja manajemen media.

Penutup

Isu globalisasi tentunya bukan sekedar celoteh belaka, perkembangan teknologi yang meramaikan peradaban jaman juga akan mengisi ruang publik di kehidupan mendatang. Bentuk-bentuk globalisasi juga tidak terlepas dari konstruksi pascakonolialisme, penyeragaman pemikiran termaksud dalam konstruksi pascakonolialisme. Efek dari globalisasi tidak hanya ditimbulkan dari perkembangan budaya saja, celakanya jaringan telekomunikasi dan media ikut-ikutan juga terkena efek tersebut. Memang tidak bisa kita pungkiri, kemajuan teknologi telekomunikasi dan media kita tidak terlepas dari apa yang dimaksud pada keterbukaan informasinya. Jika pada pendahuluan sudah disinggung, bahwa Negara Indonesia pasca reformasi juga bertujuan dengan penonjolan isu terhadap demokratisasi, hak asasi manusia, dan kelestarian lingkungan hidup.

Padahal reformasi yang kita idam-idamkan itu sepertinya belum memberikan banyak perubahan terhadap Negara ini. Faktanya, media yang sebagai pilar keempat demokrasi tidak begitu timbul sebagai alat konrol pemerintah, masyarakat, dan kehidupan berbangsa. Justru media saat ini menjadi korporat-korporat yang membantu mengeruk kekayaan Negara ini. Pembagian besar atas tiga type berdasarkan kepemilikannya seperti; not-for-profit, public/state owned organizations, dan privately owned media organization sudah menjadi asumsi dasar kita melihat bagaimana regulasi yang diciptakan dari para insan media tersebut. Celakanya, ketiga bagian besar ini, sebagian besar yang sering digunakan di Indonesia sendiri adalah bagian terakhir (privately owned media organization). Hal ini sudah merujukkan kita pada pandangan media yang menjadi ladang bagi konglomerat sudah menjadi hal yang lumrah.

Tanpa panjang lebar, ketamakan yang dimunculkan dari sang pemilik media tentunya juga berdampak pada perkerja media itu sendiri. Penekanan-penekanan atas kepentingan wacana dari sang pemilik media yang dipaksakan untuk diproduksi menjadi tumpang tindih atas tujuan bersama yang dicanangkan pada pasca reformasi tersebut.

Menyikapi sinyalemen tersebut, kebersamaan dalam membangun dan menciptakan kemajuan Negara ini dari tiap-tiap elemen lembaga, organisasi, budaya, akademik, dan sebagainya akan terasa penting. melakukan inovasi dan antisipasi terhadap berbagai kecendrungan yang terjadi, agar terciptanya generasi pekerja media yang mengutamakan prosesionalisme, menjunjung tinggi idealism, serta mengedepankan etika.



[1] Setelah reformasi dunia media massa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Beberapa televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI kemudian menyusul yang lain) mempunyai jangkauan siaran nasional. Kehadiran televisi ini mengakibatkan persaingan antar televisi menjadi tajam. Persaingan yang tajam mempengaruhi pembentukan konglomerasi media seperti Media Nusantara Citra yang berubah menjadi Global Mediacom, kelompok Bakrie Brothers dan kelompok PT. Trans Corpora.
[2] Amir Effendi Siregar, et al., Potret Manajemen Media Di Indonesia (Yogyakarta, Total Media, 2010), hal. 66.
[3] Dinyatakan untuk menyelenggarakan penyiaran dan menghasilkan kualitas siaran serta mengawasi penyelenggaraan penyiaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diperlukan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia setelah terlebih dahulu mendapat masukan dari masyarakat, asosiasi penyiaran, dan organisasi lainnya.

10 Okt 2012

Musik; Mendengar sekaligus Menyusun Playlist hingga Mixtape


Era digital telah tiba, saat arus lintas informasi tiada batas maka budaya mendengar manusia akan semakin tinggi. Inilah peradaban manusia modern. Musik juga menjadi salah satu aset penting dalam perkembangan dan peradaban manusia kini, tak bisa selayang pandang kita menanggapi musik hanya sebagai produk seni. Bagi saya, musik juga lahir dari pergulatan manusia ketika mencapai satu titik kejenuhan alegori sosial. Dimana manusia mencari tempat untuk bersinggah diri mencari titik nyaman dan intim dalam menyikapi salah satu inderanya, yaitu mendengar.

Kali ini kita tidak akan membicarakan bagaimana produk seni itu dapat tercipta, melainkan kita akan berbicara bagaimana musik (sebagai produk seni) dapat diperlakukan sebagaimana menikmatinya. Bila kita tengok kembali, musik sejak zaman dahulu juga digunakan untuk memahami serta mendekatkan diri dengan alam, masyarakat, dan sang ilahi. Manusia, menggunakan musik untuk sarana meditatif dimana ia diisi dengan doa, harapan, atau puja-puji. Musik ibarat tangga, juga digunakan untuk menggapai tingkat spiritualitas tertentu. Yang jelas, musik menjadi jembatan untuk mempersempit jarak antara yang illahiah dengan hambanya. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa musik memiliki fungsi lebih dari sekedar hiburan rakyat, atau produk seni umum. Ia tak hanya memiliki muatan sosial politik, tapi ia juga memiliki fungsi yang lebih mistik dan spiritual. 

Tapi kini orang-orang tak hanya mendengarkan musik untuk memuji alam dan ilahi, melainkan juga untuk memuji sang artis sendiri. Apapun cara ia menikmati musik sebagai-bagian dari budaya mendengar, saya rasa ‘everything is gonna be all right’. Terkait hal-hal tersebut, ada ‘regresi mendengar’ yang kini menjadi begitu penting diperhatikan, ketika musik dianggap tidak lagi dalam taraf mencerahkan, mendekatkan, serta memahami keadaan. Dengan memperhatikan hal yang janggal itu, kita dapat menelisik kembali bagaimana menikmati musik selain dengan mendengar.


Mendengar sekaligus menyusun playlist hingga mixtape adalah kebiasaan umum tapi jarang kita temui. Mengapa jarang kita temui? Semua orang pasti menyukai musik, apapun instrumen dan melodinya, tapi tak banyak orang yang mendengarkan musik secara tematik, dan rapih. Menyusun playlist dan mixtape, merupakan salah satu langkah menciptakan perilaku menikmati musik secara asik. Sadar maupun tidak, musik menjadi sebuah pertualangan mengasikan yang sejujurnya kita dapat menemukan rangkaian-rangkaian beragam tema yang bisa disusun dan dirangkai dalam bentuk playlist hingga mixtape. Sejatinya, playlist berangkat dari penyusunan lagu-lagu favorit hingga representatif perasaan ‘sang pendengar’. Lalu, jenjang itu meningkat dari meracik playlist menjadi sebuah mixtape. Dan ini termasuk dalam hobi yang unik.

Dengan begitu kita bisa menikmati musik bukan hanya dari mendengarkan melainkan dari berbagai macam kekhususannya. Menyusun playlist hingga mixtape juga sebagai usaha pencitraan diri dan mencari keotentikan lewat lagu-lagu yang disusun atau dikompilasikan dalam baris playlist di Winamp atau sejenisnya. Lebih-lebih, karena lagu-lagu dalam kompilasi itu memiliki selera musik yang oke banget menurut sang penyusun, maka dia akan merasa mixtape-nya ini akan begitu berarti jika ia sebarkan kepada semua orang, ‘bahwa selera musiknya lebih baik dari orang kebanyakan’. Lewat budaya menyusun serta meracik itu, kita juga bisa memandang sesuatu dari sudut pandang yang lain menjurus ke eksploitasi isu atau karya. Selain itu, kita juga dapat sharing (berbagi) refrensi music dan passion dari seorang musik geek. Dari situ, mari kita lestarikan menikmati musik dengan asik.

3 Sep 2012

Ketika ‘Unfollow’ lebih Kejam daripada Pembunuhan?

Anda pasti pernah mendengar pepatah ini ‘Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan’, lalu apa yang salah dengan pepatah ini? Gak ada yang salah. Tapi, saya akan coba menyadur dan membuat plesetan pepatah itu, ketika ‘unfollow lebih kejam daripada pembunuhan’. Menjadi cocok saat media sosial kini mulai menguasai dunia, apalagi jejaring sosial yang satu ini (Twitter), pasti teman-teman sudah tahu dong.
Tempo hari, saya membaca beberapa laporan mengenai peringkat pengguna twitter di dunia, alhasil Indonesia berada di posisi ke-lima, ini setelah disalip oleh Inggris raya yang berhasil berada di posisi keempat dengan 23,8 juta akun. Berbeda dengan kita (Indonesia) dengan jumlah 19,5 juta akun. Sedangkan, posisi satu ditempati Amerika Serikat dengan 107,7 juta, Brasil dengan 33,3 juta di posisi kedua, dan Jepang di posisi ketiga dengan 29,9 juta akun. Hasil itu disampaikan dari penelitian Semiocast, lembaga riset media social yang berpusat di Paris, Prancis.
Ihwal peringkat Indonesia sebagai pengguna Twitter kelima terbesar di dunia, menambah marak juga perbincangan tentang gaya bermain Twitter, lalu apa sih yang menarik? Follow dan Unfollow begitulah hal paling lumrah kita jumpai saat bermain di media sosial ini. Sebenarnya sih masih banyak tentang tata cara bermain twitter, seperti; block, spam, hastag, mention, dsb. Meski demikian, saat bermain Twitter, hal pertama yang kita perhatikan adalah Followers kita bertambah atau tidak, dan kedua adalah Trendic Topic apa yang sedang booming.
Sempat memperhatikan chit-chat (percakapan) di timeline akun saya, beberapa waktu lampau. Beberapa akun itu memang dengan frontal menyatakan tweet-war yang dikarenakan ada permasalah antar pribadi mereka, yang mungkin sulit mencari jalan keluar. Kicauan burung-burung lepas itu memang agak risih saya perhatikan. Tapi ini menarik. Ketika mencapai titik klimaks, tweet-war mulai bertebaran, kedua kubu yang berkonflik ini juga menghasilkan sikapnya masing-masing. Hasilnya unik, ‘Unfollow’ adalah sikap terakhir kedua kubu yang saling menggelimangkan kicauannya ini. Hal ini memberikan kacamata lain tentang unfollow itu.
Unfollow menjadi begitu sakral bagi para pengguna akun twitter, yang mungkin juga merubah budaya bercakap anak muda kelas menengah kini. Hubungan pertemanan, bisnis, pacaran, atau apalah, jadi ibarat ‘hitam diatas putih’. Saat semua relasi itu diputuskan dengan tidak mengikuti (Unfollow) lagi akun Tweeps-nya. Alih-alih unfollow menjadi pakem simbol bahwa ia masih menjalin hubungan atau tidak. Tapi, apakah demikian? Memang tidak semua pemilik akun Twitter mengalami kasus yang sama, seperti apa yang saya gambarkan diatas.
Namun, unfollow juga menjadi penting saat pemilik akun memang mempunyai visi untuk eksis di dunia maya sekaligus nyata. Ihwal bagaimana cara bermain yang baik dalam Twitter juga sempat saya dapatkan dari salah seorang teman yang bisa dibilang ‘anak socmed’ gitu. Berikut percakapan saya dengan irfan (@Fanbul) lewat jam malam di Direct Message Twitter;
 
Irfan yang biasa disapa dengan nama Fanbul, memang kerap dipandang sebagai anak socmed yang aktif. Doi memiliki followers hingga 2.342 dengan following 974 (hasil pemantauan terakhir tanggal 16 juli 2012). Lebih-lebih, doi juga cukup konsisten dalam bermain twitter dengan mengisi tweeps galaunya pada jam-jam malam. Meski demikian, masih banyak juga sih, akun-akun tweet yang followers-nya lebih dari doi. Tempo hari, DK New Media membuat daftar 15 alasan umum kenapa akun seseorang di unfollow terhadap situs microblogging Twitter. Hasilnya sebagai berikut:


1. Akun terlalu cerewet
2. Akun terlalu mempromosikan diri sendiri
3. Akun sering melakukan spamming atau menyampah di linimasa
4. Kicauan dari sebuah akun tidak menarik lagi
5. Akun terlalu sering mengulang kicauannya
6. Akun terlalu mengandalkan fasilitas kicauan otomatis
7. Kicauan sering menyerang tweeps lain atau tidak profesional
8. Isi kicauan dari akun berisi ‘hal meminta’
9. Akun terlalu sering diam
10.  Akun terlalu sering berkicau tentang check-in di Foursquare atau layanan sejenisnya
11.  Tidak ada percakapan dengan akun lain
12.  Kicauan bertentangan dengan gramatika
13.  Terlalu banyak melakukan re-tweet14.  Menolak Direct-message (DM)
15.  Sering membuat hastag yang tidak berguna


Nah, kalau sudah tahu tentang tata cara bermain Twitter supaya tidak di unfollow, alangkah baiknya teman-teman sudah punya gambaran sendiri agar bisa mendapatkan teman yang banyak. Sejatinya, budaya berkicau juga merupakan budaya demokratik sekarang ini. Mari berkicau dengan sehat.